REVIEW 2
Penerapan Hukum Progresif dalam Penegakan Hukum di tengah Krisis
Demokrasi
OLEH:
Yanto Sufriadi
Fakultas Hukum Universitas Hazairin
Jl. Jenderal Ahmad Yani No. 1 Bengkulu
Hasil
Penelitian dan Pembahasan
Dampak Globalisasi terhadap
Keadilan, Kesejahteraan dan Demokrasi
Globalisasi ekonomi yang terjadi sekarang
ini, sesungguhnya digerakkan oleh
neoliberalisme,
yakni suatu “isme” dengan misi khusus, yaitu mengurangi campur tangan negara
dalam ekonomi untuk diganti dengan pasar. Artinya pasar ingin dijadikan
satu-satunya cara atau sistem untuk mengatur perekonomian dan sekaligus satu-satunya
tolok ukur untuk menilai keberhasilan semua kebijakan pemerintah. Sebagai
implikasinya, masyarakat dan negara hanyalah instrumen yang diperlukan untuk
menjamin terjadinya akumulasi kekayaan oleh anggota-anggota partikelir dalam
masyarakat. Peran negara harus surut, digantikan oleh individu-individu swasta.
Faham neoliberalisme ini, dalam pekembangannya
telah memberikan pengaruh besar terhadap banyak negara di dunia, tidak
terkecuali negara-negara yang selama ini menganut negara kesejahteraan (welfare
staats). Di negara-negara berkembang, agenda
neoliberalisme mudah masuk karena pengaruh lembaga-lembaga keuangan internasional
seperti International Monetery Found (IMF).
Internastional Bank for Reconstruction
and Development (IBRD), dan
World Trade Organization (WTO).
IMF bertugas sebagai
pengatur sistem keuangan dan sistem nilai tukar internasional. Selain itu juga
dirancang untuk menolong negara-negara yang mengalami kesulitan dalam neraca
pembayaran, dengan memberikan bantuan hutang luar negeri. Fungsi lainnya adalah
menstabilkan ekonomi global. (IBRD)
yang
kemudian
lebih dikenal dengan World Bank (Bank
Dunia), umumnya menyediakan paket hutang untuk proyek-proyek dan
program-program pembangunan infrastruktur, pendidikan, pemberantasan
kemiskinan, menjaga lingkungan dan sejenisnya.
Misi utama WTO adalah
menghilangkan sekat-sekat perdagangan, dengan mengeluarkan peraturan-peraturan
yang harus ditaati semua negara anggota yang ikut menandatangani perjanjian.
Harapan yang ingin dicapai ialah mengatur jalannya perdagangan bebas dunia,
baik perdagangan barang, jasa-jasa dan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) dan
investasi yang terkait dengan perdagangan.
Dalam kiprahnya menyokong neoliberalisme, IMF
dan Bank Dunia, banyak melakukan ‘penekanan’ terhadap
negara-negara yang ‘ditolong’-nya, untuk melakukan kebijakan liberalisasi,
deregulasi dan privatiasi, yang merupakan agenda politik neoliberal untuk
membuka pasar nasional, dengan menyurutkan peran negara-negara yang ‘ditolong’-nya
dalam perekonomian. Misi IMF dan Bank Dunia ini
memperlihatkan hasil yang luar biasa, yang ditandai oleh terbukanya pasar nasional
di hampir seluruh negara di dunia.
Sementara WTO,
menopang neoliberalisme dengan mewadahi negara-negara untuk membentukkesepakatankesepakatan dalam
perdagangan internasional di antara negara-negara anggota, yang pada akhirnya
ditujukan untuk menghapus segala bentuk
hambatan dalam perdagangan internasional; baik hambatan tarif maupun hambatan
non tarif.
Ketika sekat-sekat perdagangan antar negara
sudah terbuka, berkat kebijakan deregulasi yang dilakukan oleh negara-negara
anggota, perdagangan menjadi mendunia. Arus modal, barang dan jasa, menjadi
bebas keluar masuk suatu negara tanpa hambatan. Inilah yang disebut globaliasi
ekonomi sekarang ini, yang secara filosofis mengacu pada faham individual,
liberal, kapitalis, dan yang mengedapankan nilai-nilai kebebasan dan keadilan
individual.
Deregulasi yang dilakukan negara-negara
berkembang untuk menyurutkan peran pemerintah ini, umumnya dilakukan oleh
negara-negara berkembang yang memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi
terhadap dana pinjaman dari IMF dan
Bank Dunia baik untuk menutup defisit neraca pembayaran, maupun untuk membiayai
pembangunan infrastruktur. Surutnya campur tangan pemerintah ini, telah
mengakibatkan banyak industri di negara-negara berkembang yang mengalami kebangkrutan,
karena kalah dalam persaingan pasar bebas. Keadaan ini menyebabkan banyak
pemutusan hubungan kerja (PHK) dan meningkatnya angka pengangguran. Akibat
selanjutnya, selain menurunnya pertumbuhan ekonomi sekaligus meningkatnya angka
kemiskinan.
Sebuah laporan kritis menyimpulkan bahwa
negara-negara yang menerapkan program penyesuaian struktural dengan sangat
ketat, mengalami kinerja ekonomi yang sangat mengerikan; dengan peningkatan
tahunan minus 0,53%. Di sisi lain, negara-negara yang menerapkan program
penyesuaian struktural yang lebih longgar mengalami pertumbuhan sebesar 2% (dua
persen), tetapi yang mengejutkan ialah negara-negara yang tidak menjalankan
program-program penyesuaian struktural justeru mengalami pertumbuhan sebesar
3,5% per tahun.6 ILO memperkirakan
bahwa presentase penduduk dunia yang berada di bawah garis kemiskinan meningkat
dari 53,5% di tahun 1985, menjadi 54% di tahun 1990 di sub-Sahara Afrika, dari
23% menjadi 27,8% di Amerika Latin, dan menurun dari 61,1% menjadi 59% di Asia Selatan,
dan dari 15,7% menjadi 14,7% di Asia Tenggara dan Asia Timur.
Dalam laporan UNDP
tahun 2001, proporsi kemiskinan dunia meningkat dengan tajam.
Antara tahun 1996 dan 1999, proporsi orang hidup di bawah garis kemiskinan bertambah
dari 18 persen menjadi 24 persen dari jumlah penduduk dunia. Kondisi kemiskinan
menjadi semakin parah karena pendapatan kaum miskin secara keseluruhan menurun
jauh di bawah garis kemiskinan. Di Indonesia, secara keseluruhan total jumlah
penduduk miskin pada tahun 2000 mencapai 46,7 juta orang; naik dua kali lipat
dari tahun 1995, yakni sebesar 27 juta orang.
Krisis ekonomi 1997 juga telah mendorong
terjadinya pemutusan hubungan
kerja
besar-besaran di Indonesia. Sebelum krisis berlangsung, ketika pertumbuhan ekonomi
masih berkisar angka 7%, angka pengangguran terbuka mencapai 7%, sedangkan
angka pengangguran terbuka terdidik mencapai angka 18,6%. Setelah terjadinya
krisis, angka tersebut meningkat menjadi sekitar 17,1% atau sekitar 15,4 juta
orang.
Antara tahun 1997 dan 1998 inflansi
di Indonesia meningkat dari 6% menjadi
78%,
sementara upah riil turun menjadi hanya sekitar sepertiga dari nilai
sebelumnya. Daya beli masyarakat menurun karena ketidaksesuaian antara
pendapatan dan pengeluaran, akibatnya semakin tinggi harga barang-barang
kebutuhan pokok, maka semakin besar pula jumlah penduduk yang menjadi miskin.
Pada tingkat global, Hirts dan Thompson10
menunjukkan bahwa sebagian besar arus investasi hanya mengalir
di tiga wilayah (triad) pokok, yakni Jepang, Amerika Utara, dan Uni Eropa.
Belakangan arus investasi tersebut menyebar ke negara-negara Asia Timur. Cina
menjadi salah satu penerima investasi terbesar dunia saat ini. Data UNCTAD
Programme on Transnational Corporations menyebutkan bahwa
pada tahun 1990, arus investasi dari Uni Eropa ke Amerika Utara sebesar 7% dari
aliran investasi dunia, sedangkan aliran investasi dari Amerika Utara ke Uni
Eropa sebesar 8,4%. Aliran investasi dari Jepang dan Uni Eropa dan begitu
sebaliknya menempati ranking tertinggi. Aliran investasi Jepang ke
negara-negara Uni Eropa menunjukkan angka 45,5%, sedangkan aliran investasi Uni
Eropa ke Jepang sebesar 46,8%. Selanjutnya, aliran investasi dari Jepang ke Amerika
Utara sebesar 7,3%, dan dari Amerika Utara ke Jepang sebesar 23,0%.
Data di bidang perdagangan dunia, juga
menunjukkan kecenderungan yang
kurang
lebih sama. Negara-negara maju yang tergabung dalam Triad masih memegang peran
penting perdagangan dunia di tambah Cina dan negara-negara industri baru di
kawasan Asia Timur, seperti Korea Selatan, Taiwan dan Singapura. Tujuan ekspor
dunia antara tahun 1965-1995, yang dihitung berdasarkan total ekspor saat itu,
yang berlangsung antar negara maju rata-rata mencapai 52,3%, antara negara maju
dan berkembang 35,7% dan antar negara berkembang sebesar 8%.
Data yang dikemukakan di atas,
merupakan petunjuk bahwa globalisasi telah memunculkan ketidak-adilan dan
memperluas kemiskainan. Globalisasi hanya semakin memajukan negara-negara maju,
sedangkan negara-negara berkembang justeru menjadi semakin miskin. Kemiskinan
tersebut akan berdampak buruk terhadap demokrasi.
Pengaruh yang ditimbulkan akibat
memburuknya kemiskinan, terhadap demokrasi dapat dilihat dalam dua sisi.13
Pertama, meskipun pertumbuhan ekonomi tidak
mempunyai kaitan langsung dengan sistem politik demokrasi, tetapi meningkatnya
kesejahteraan dan semakin tingginya tingkat pendidikan sebagai akibat
pembangunan ekonomi telah menjadi faktor penting dalam mendorong demokratisasi
sistem politik suatu negara.14 Perlu
biaya-biaya ekstra untuk menciptakan suatu kondisi yang menguntungkan bagi
demokrasi; seperti akses informasi yang murah dan ketersediaan pendidikan yang
berkualitas tetapi terjangkau. Ini tidak berarti bahwa dalam suatu masyarakat
dengan tingkat kesejahteraan minimal tidak dapat tumbuh demokrasi, tetapi dalam
kondisi kearah demokrasi akan jauh lebih baik dalam suatu masyarakat dimana tingkat
kesejahteraan di atas rata-rata, kemudahan dalam akses pelayanan kesehatan, dan
pendidikan.
Kedua,
kerentanan masyarakat dalam hal kesejahteraan terutama menyangkut pemenuhan
hak-hak dasar mereka yang menyangkut sandang, pangan, dan papan, akan cenderung
memberi ruang bagi munculnya instabilitas yang mengundang negara melakukan
tindakan-tindakan represif. Ini akan menciptakan suatu bentuk otoritarianisme
baru yang akan membuat impian ke arah demokrasi menjadi semakin jauh. Dengan
demikian, gerakan ke arah demokratisasi tidak lagi terbatas pada institusi-institusi
politik demokratis dan penyadaran akan hak-hak politik warga negara, tetapi
juga melibatkan program pengentasan kemiskinan yang lebih luas dengan cara
menciptakan sistem-sistem pengaturan ekonomi yang lebih bisa menciptakan
kemakmuran dan keadilan bagi sebagian besar masyarakat sesuai dengan prinsip
demokrasi, dimana yang mayoritas yang akan mengelola.
George Soros dalam The
Crisis of Global Capitalism (1998), menjelaskan bahwa ada
suatu anggapan yang keliru bahwa demokrasi dan kapitalisme berjalan seiringan. Dalam
realitas, hubungan antara demokrasi dengan kapitalisme tersebut sangat kompleks.
Menurutnya, kapitalisme membutuhkan demokrasi sebagai kekuatan pengimbang,
karena sistem kapitalisme tidak memiliki kecenderungan untuk mencapai
keseimbangan. Para pemilik modal selalu berusaha memaksimumkan keuntungan
mereka, dan apabila hal itu dibiarkan lepas tanpa kendali, tentulah mereka akan
berupaya untuk mengakumulasikan modal sampai pada suatu tingkat ketidak
seimbangan. Pandangan ini, mengisyaratkan bahwa demokrasi seharusnya berfungsi
untuk mengendalikan sistem kapitalisme. Artinya negara dan hukum harus memainkan
peran sebagai pengendali dalam perekonomian global.
Persoalannya adalah demokrasi di banyak
negara sudah tidak lagi dapat berperan dalam mengendalikan sistem kapitalisme.
Banyak produk legislasi dan kebijakan pemerintah yang lebih memihak pada
kepentingan pemilik modal. Karena itu hukum positif yang ada sulit untuk dapat
melakukan pengendalian kiprah kapitalisme global. Situasi yang demikian tentu
akan mengakibatkan semakin memburuknya keadilan dan tingkat kesejahteraan
rakyat banyak.
Penjelasan ini sekaligus menunjukkan
bahwa neoliberalisme yang berada dibalik globalisasi ekonomi, berdampak
menimbulkan krisis demokrasi di negara-negara berkembang dan pada gilirannya
juga berdampak pada munculnya krisis di bidang hukum. Hukum hanya akan menjadi
alat untuk memenuhi kepentingan kaum elit. Dalam situasi hukum yang elitis,
penerapan hukum menurut tradisi berpikir legalpositivism,
akan mengakibatkan hukum hanya mengabdi kepada kepentingan elit. Karena itu,
apabila hukum ingin diabdikan pada keadilan dan kesejahteraan rakyat banyak,
hal itu hanya mungkin diwujudkan, apabila penerapannya dilakukan dengan cara-cara
yang progresif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar