REVIEW3
Penerapan Hukum Progresif dalam Penegakan Hukum di tengah Krisis
Demokrasi
OLEH:
Yanto Sufriadi
Fakultas Hukum Universitas Hazairin
Jl. Jenderal Ahmad Yani No. 1 Bengkulu
Penerapan Konsep Hukum
Progresif dalam Penegakan Hukum
Dalam tradisi pemikiran legal-positivism,
yang banyak dianut dalam negara demokrasi sekarang ini, hukum dikonsepsikan
sebagai produk legislasi. Hukum adalah peraturan perundang-undangan yang
dihasilkan melalui proses legislasi nasional. Hukum berlaku, semata-mata karena
telah ditetapkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan, tanpa melihat
apakah isinya adil atau tidak adil. Dalam sistem ini, pelaku hukum (birokrasi
dan hakim), sesuai dengan doktrin dalam analytical
jurisprudence, hanya bertugas sebagai corong
undang-undang. Dalam tradisi pemikiran legal-positivism,
yang banyak dianut dalam negara demokrasi sekarang ini, hukum dikonsepsikan
sebagai produk legislasi. Hukum adalah peraturan perundang-undangan yang
dihasilkan melalui proses legislasi nasional. Hukum berlaku, semata-mata karena
telah ditetapkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan, tanpa melihat apakah
isinya adil atau tidak adil. Dalam sistem ini, pelaku hukum (birokrasi dan
hakim), sesuai dengan doktrin dalam analytical
jurisprudence, hanya bertugas sebagai corong
undang-undang.
Penggunaan pemikiran legal-positivism,
dalam situasi hukum perundangundangan yang elitis, akan menyebabkan kesenjangan
(ketidakadilan) ekonomi dan kemiskinan (ketidaksejahteraan) rakyat akan semakin
meluas, sebab kemacetan demokrasi yang terjadi dibawah tekanan neoliberalisme,
akan menyebabkan hukum yang dihasilkan dari proses legislasi akan cenderung
berpihak pada kepentingan elit dan mengabaikan keadilan dan kesejahteraan
rakyat banyak. Karena itu, untuk pemulihannya diperlukan upaya-upaya yang
inovatif guna menemukan konsep hukum yang lebih berpihak kepada keadilan dan
ksejahteraan rakyat.
Menurut Satjipto Rahardjo, hukum seharusnya
bertugas melayani manusia, bukan sebaliknya. Mutu hukum ditentukan oleh
kemampuannya untuk mengabdi pada kesejahteraan manusia. Inilah hukum progresif,
yang menganut ideologi hukum yang pro-keadilan dan hukum yang pro-rakyat. Hukum
progresif ini, ditawarkan untuk mengatasi krisis di era global sekarang ini.
Dedikasi para pelaku hukum mendapat tempat yang utama untuk melakukan
pemulihan. Para pelaku hukum, harus memiliki empati dan kepedulian pada
penderitaan yang dialami rakyat dan bangsa ini. Kepentingan rakyat
(kesejahteraan dan kebahagian), harus menjadi titik orientasi dan tujuan akhir
penyelenggaraan hukum.
Proses perubahan tidak lagi berpusat pada
peraturan, tapi pada kreativitas pelaku hukum dalam mengaktualisasi hukum dalam
ruang dan waktu yang tepat. Para pelaku hukum, dapat melakukan perubahan yang
kreatif terhadap peraturan yang ada tanpa harus menunggu perubahan peraturan (changing
the law). Peraturan yang buruk, tidak harus
menjadi penghadang bagi para pelaku hukum untuk menghadirkan keadilan bagi
rakyat dan pencari keadilan, karena mereka dapat melakukan interpretasi secara
baru terhadap suatu peraturan.
Interessenjurisprudenz,
tegas-tegas menolak pertimbangan yuridis yang legalistik, yang dilakukan secara
pasang-jarak dan in abstracto. Ia tidak
memulai pemeriksaan dari bangunan peraturan secara hitam-putih, melainkan dari
konteks dan kasus khusus di luar narasi tekstual aturan itu sendiri. Sebabnya
adalah karena keadilan tidak bisa secara langsung ditemukan melalui proses
logis-formal. Keadilan justeru diperoleh melalui intuisi. Karena itu, argumen
logis-formal “dicari” sesudah keadilan ditentukan untuk membingkai secara
yuridis-formal keputusan yang diyakini adil tersebut.
Dalam konsep hukum yang proresif, hukum
tidak mengabdi pada dirinya sendiri, melainkan untuk tujuan yang berada di luar
dirinya. Ini berbeda
dengan tradisi analytical jurisprudence yang
cenderung menepis dunia luar dirinya; seperti manusia, masyarakat dan
kesejahteraannya.18 Dengan demkian,
hukum harus bersifat responsif. Regulasi hukum akan selalu dikaitkan dengan
tujuan-tujuan sosial yang melampaui narasi tekstual aturan.
Hukum progresif, memiliki logika yang mirip
dengan Legal Realism, melihat dan
menilai hukum dari tujuan-tujuan sosial yang ingin dicapainya serta
akibatakibat yang timbul dari bekerjanya hukum itu, yang karenanya dari sudut
pandang etis, dapat disebut etika teleologis. Cara berpikir teleologis ini,
bukan tidak memperhatikan hukum. Aturan penting, tetapi itu bukan ukuran
terakhir yang lebih diutamakan adalah tujuan dan akibat. Sebab itu, pertanyaan
sentral dalam etika teleologis, adalah apakah suatu tindakan itu bertolak dari
tujuan yang baik, dan
apakah
tindakan yang tujuannya baik itu, juga berakibat baik.
Dalam pandangan hukum progresif,
pelaku hukum harus memiliki kepekaan pada persoalan-persoalan krusial dalam
hubungan–hubungan manusia, termasuk keterbelengguan manusia dalam
struktur-struktur yang menindas; baik politik, ekonomi, maupun sosial budaya.
Dalam konteks ini, hukum progresif harus tampil sebagai institusi yang
emansipatoris (membebaskan).
Hukum progresif yang menghendaki
pembebasan dari tradisi keterbelengguan, memiliki kemiripan dengan pemikiran
Roscoe Pound tentang hukum sebagai alat rekayasa sosial (social
engineering). Usaha social
engineering, dianggap sebagai kewajiban untuk
menemukan cara-cara yang paling baik bagi memajukan atau mengarahkan
masyarakat.19 Bukti monumental
tentang penggunaan hukum sebagai alat perubahan sosial, terjadi di Amerika
Serikat pada 1954. Keputusan Mahkamah Agung Amerika untuk mengubah perilaku
orang kulit putih Amerika, yang sebelumnya menaruh sikap prasangka pada orang-orang
negro. Untuk menghilangkan sikap tersebut, Mahkamah Agung melalui putusannya,
bahwa pemisahan ras di sekolah-sekolah negeri, bertentangan dengan konstitusi
Amerika. Edwin M. Schur, melihat putusan tersebut sebagai upaya pengangkatan
suatu moralitas ke dalam bentuk perundang-undangan Amerika.
Hukum progresif lebih mengutamakan
tujuan dan konteks dari pada teks aturan,maka diskresi mempunyai tempat yang
penting dalam penyelenggaraan hukum. Thomas Aaron merumuskan diskresi sebagai :
...power authority conferred by law to
action on the basic of judgement or conscience, and it use is
more on idea of moral than law”.
Dalam konteks diskresi, para penyelenggara hukum dituntut untuk
memilih dengan bijaksana bagaimana ia harus bertindak. Otoritas yang ada pada
mereka berdasarkan aturan-aturan resmi, dipakai sebagai dasar untuk menempuh
cara yang bijaksana dalam menghampiri kenyataan tugasnya berdasarkan pendekatan
moral dari pada ketentuan-ketentuan formal. Weston menyatakan “decicion
making has been termed the
selection of the best, the most practical or satisfactory course of action.”
Dalam penyelenggaraan hukum diskresi
merupakan faktor wewenang hukum
yang
dijalankan secara bertanggungjawab dengan mengutamakan pertimbangan moral dari
pada peraturan abstrak. Diskresi yang dilakukan seorang penyelenggara hukum, semata-mata
atas dasar pertimbangan tentang kegunaan dan kefungsian tindakan itu dalam
mencapai tujuan yang lebih besar demi menjaga kewibawaan hukum itu sendiri. Dalam
kata-kata Louis A Redelet, ditegaskan bahwa “Law is not an
end in itself. Propersly understood, it is
a means ti higher end human affair, much as good order, justice.”
Diskresi dilakukan karena dirasakan
sarana hukum kurang efektif dan terbatas sifatnya dalam mencapai tujuan hukum
dan sosial. Menurut Doorn,
tujuan-tujuan yang dirumuskan dalam ketentuan hukum, seringkali begitu kabur,
sehingga memberi kesempatan kepada pelaksananya untuk menambahkan/menafsirkan sendiri
dalam konteks situasi yang ia hadapi.25 Tujuan-tujuan
seperti keadilan, kepastian, keserasian, misalnya, adalah terlalu umum sehingga
para pelaksana berpeluang mengembangkan penafsiran mengenai sekalian tujuan
itu.26 Kehadiran pelaku hukum yang arif, visioner,
dan kreatif, mutlak diperlukan untuk memandu pemaknaan yang kreatif terhadap
aturan-aturan yang demikian itu.
Penerapan hukum progresif, yang pada
dasarnya terarah kepada para pelaku hukum ini, diharapkan akan dapat
mengarahkan hukum yang dihasilkan oleh proses legislasi, yang cenderung elitis,
untuk mengarah pada kepentingan keadilan dan kesejahteraan rakyat banyak.
Pintu masuk bagi penerapan hukum
progresif dalam praktik pengadilan di Indoensia, secara formal telah diberikan
oleh UU Kekuasaan Kehakiman yang menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman bertugas
untuk menegakkan hukum dan keadilan. Dalam rangka itu, hakim diwajibkan untuk
menggali nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.27
Ini berarti bahwa hakim tidak sekedar bertugas menerapkan
peraturan apa adanya, tetapi bagaimana penerapan itu dapat mewujudkan keadilan.
Di sini kreativitas hakim menjadi sangat menentukan.
Hasil penelitian terhadap sengketa
dalam pelaksanaan kontrak,menunjukkan bahwa
pengadilan di Indonesia pada awalnya sangat mengedepankan asas facta-
sunt servanda dari pada
asas iktikad baik. Mengedepankan asas facta sunt
servanda, berarti mengedepankan
isi perjanjian sesuai dengan apa yang secara formal sudah disepakati
oleh para pihak secara sah, dan itulah yang oleh pengadilan
diberlakukan sebagai undang-undang
bagi para pihak. Ini merupakan gambaran dari cara berpikir yang
legal-positivism, yang hanya memaknai aturan
(dalam hal ini perjanjian) secara formaltektual, yang
mengabaikan keadilan. Dalam penelitian ini juga ditunjukkan
bahwa belakangan, sikap
pengadilan Indonesia ternyata bergeser ke arah yang lebih
mengedepankan iktikad baik. Mengedepankan iktikad baik, berarti
pengadilan tidak lagi terbelenggu
untuk mengikuti teks perjanjian, melainkan lebih melihat pada nilainilai
kepatutan dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Ini
merupakan gambaran bahwa dalam
memutus sengketa pelaksanaan kontrak, pengadilan Indonesia, telah
bergeser menjadi progresif.
Dalam penelitian lain, terkait
dengan pemaknaan tindakan melawan hukum dalam Tindak Pidana Korupsi,
masih banyak hakim yang terkungkung dengan cara berpikir yang legal-positivism.
Tindakan melawan hukum hanya dimaknai terbatas pada rumusan teks yang sudah ada
dalam peraturan perundang-undangan, tanpa memperdulikan nilai-nilai kepatutan
dan keadilan. Akibatnya, sekalipun tindakan terdakwa bertentangan dengan
nilai-nilai kepatutan, tidak sedikit terdakwa yang diputus bebas oleh
Pengadilan, karena dianggap tidak berbukti telah melakukan perbuatan yang
melawan perundang-undangan.
Dalam penelitian ini juga
ditunjukkan adanya hakim yang berpikir progresif, yang memaknai tindakan
melawan hukum sebagai tindakan yang melanggar kepatutan. Nilai kepatutan
tersebut tidak terdapat di dalam teks, tetapi digali dalam masyarakat, sehingga
dalam putusannya, terdakwa tidak bisa lepas dari hukuman pidana.Sekalipun sudah
terdapat hakim yang berpikir progresif, tetapi penelitian ini menyimpulkan
bahwa cara berpikir legal-positivism masih
menjadi mainstream di kalangan
hakim di Pengadilan.
Berdasarkan hasil penelitian yang
dikemukakan di atas, tradisi berpikir hakim di Pengadilan, sudah mulai diwarnai
oleh cara berpikir yang progresif. Tradisi berpikir yang progresif ini perlu
terus didorong, agar benar-benar menjadi budaya hukum dikalangan hakim. Apabila
para hakim, sudah tidak lagi terbelenggu dengan tradisi berpikir legal-positivism,
maka tujuan hukum untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat, akan
menjadi lebih memungkinkan, sekalipun hukum perundang-undangan yang dihasilkan
dalam proses legislasi cenderung elitis.
Penutup
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan
dalam bagian pembahasan di atas, dapat disimpulkan : Pertama,
globalisasi telah mengakibatkan terjadinya kesenjangan (ketidakadilan)
ekonomi dan meluasnya kemiskinan. Kemiskinan akan berdampak buruk terhadap
demokrasi. Demokrasi yang buruk, cenderung menghasilkan produk hukum yang
elitis, mengabaikan keadilan dan kesejahteraan rakyat banyak.
Kedua, dalam situasi
produk legislasi yang elitis, maka penerapan hukum yang didasarkan
pada tradisi legal-positivism,
akan semakin memperluas ketidakadilan dan kemiskinan.
Karena, itu, di tengah situasi produk legislasi yang elitis, penerapan
hukum secara progresif, merupakan cara alternatif yang lebih
memungkinkan untuk mewujudkan
keadilan dan kesejahteraan rakyat. Kehadiran para pelaku hukum
yang visioner, peka terhadap nilai-nilai moral dan keadilan,
jujur, serta amanah akan dapat
menghasilkan putusan-putusan hukum yang lebih berpihak kepada keadilan
dan kesejahteraan rakyat banyak, sekalipun produk hukum yang
dihasilkan oleh proses demokrasi
cenderung elitis. Ketiga, praktik
pengadilan di Indonesia, menunjukkan mulai
berkembangnya cara-cara penerapan hukum yang progresif,
namun tradisi legal-positivism masih
menjadi mainstream para
hakim.
Daftar Pustaka
- - Aaron, Thomas, The Control of Police Discretion, Springfield Charles D. Thomas, 1960.- Casel, Manuel, The Rise of The Fourth World, dalam David Held and Anthony McGrew (Eds), The Global Transformations Reader : An Instroduction to Globalization Debate,Cambridge Polity Press, 2000- Djiwandono, Sudradjat, 2000, Membangun Kembali Ekonomi Indonesia Dengan Paradidma Baru, (Cambridge, 27 Juni 2000) dalam http//www.pacific.net.id/pakar/s/000627.html,- Deliarnov, Ekonomi Politik, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2006.- Fal, M., Penjaringan Perkara Pidana oleh Polisi (Diskresi Kepolisian), Pradnya Paramita,Jakarta, 1991.- Held, David, at al., Global Transformastion, Politics, Economic and Culture, Standford University Press, 1999.- Hirts, Paul dan Thompson, Graham, Globalisasi adalah Mitos, Yayasan Obor, Jakarta,2001.- Khairandy, Ridwan, Makna, Tolok Ukur, Pemaknaan dan Sikap Pengadilan di Indonesia Terhadap Iktikad Baik Dalam Pelaksanaan Kontrak, Jurnal Hukum, Fakultas Hukum UII, Edisi Khusus, 16 Oktober 2009.- M. Haque, Shamsul, Governance and Bureaucracy in Singapore, Contemporary Reformand Implications, Internastional Political Science Review, Vol. 25 No. 2 Tahun 2004.- Noer Effendy, Tadjudin, Globalisasi dan Kemiskinan di Indonesia Peluang dan Hambatan Upaya Penanggulangan Kemiskinan, makalah pada Forum INFD Pertama, 2001.- Ohmae, Kenich, Hancurnya Negara Bangsa, Bangkitya Negara Kawasan dan Geliat Ekonomi Regional di Dunia Tak Terbatas, Qalam, Yogyakarta, 2002.- Rahardjo, Satjipto, Hukum dan Perubahan Sosial : suatu Tinjauan Teoritis Serta Pengalaman-Pengalaman di Indonesia, Alumni, Bandung, 1983.______, Makalah, Konsep dan Karakter Hukum Progresif, Fakultas Hukum Undipbekerja sama dengan Program Doktor Ilmu Hukum Undip, Semarang, Desember 2007.- Robinson, Wiliam I., Neoliberalisme : Elit Global dan Transisi Guatemala : sebuah Analisis Kritis Makrostruktural, dalam Wiliam I . Robinson, (Ed) Hantu Neoliberalisme, C-Books, Jakarta, 2003- Scholte, Jan Aart, Globalization : A Critical Introduction, New York; St. Martin Press,2000.- Syamsudin, M., Kecenderungan Paradigma Berpikir Hakim Dalam Memutus Perkara Korupsi, Jurnal Media Hukum Fakultas Hukum UMY, Vol. 15 No.2 Desember 2008.- Weston, Paul M., Suvervision in the Administration of Justice Police Corrections Cours,Springfield : Charles D. Thomas, 1965.- Winarno, Budi, Globalisasi dan Krisis Demokrasi, MedPress, Yogyakarta, 2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar