Laman

Sabtu, 29 Desember 2012

REVIEW JURNAL EKONOMI KOPERASI 4 (bag. 3)



REVIEW 9
DAMPAK KEBIJAKAN TATANIAGA PUPUK TERHADAP PERAN
 KOPERASI UNIT DESA SEBAGAI DISTRIBUTOR PUPUK


OLEH : NYAK ILHAM *)
Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian,
Badan Penelitian dan Perkembangan Pertanian, Bogor


DAMPAK KEBIJAKAN TERHADAP KOPERASI UNIT DESA
Dampak terhadap Harga di Koperasi Unit Desa

Sebelum kebijakan harga dan tataniaga pupuk ditetapkan, PT. Pusri beserta holding
company menetapkan harga pupuk sama untuk setiap daerah. Hal ini dapat dilakukan karena
pengadaan dan distribusi berada di bawah kontrol PT. Pusri. Dengan demikian semua biaya
untuk mencukupi kebutuhnan tiap-tiap daerah dapat diidentifikasi dan diperhitungkan. Atas
dasar perhitungan tersebut ditetapkan harga yang seragam secara nasional.
Setelah kebijakan tersebut ditetapkan, dengan sistem pasar bebas dan pelaku pasar
yang terlibat cenderung bertambah, maka berlaku hukum penawaran dan permintaan dalam
pembentukan harga. Fakta yang terjadi menunjukkan harga pupuk cenderung bersaing dan
berada di bawah harga pupuk plafond KUT yang ditetapkan pemerintah. Secara umum,
formulasi yang digunakan dalam menentukan harga pupuk adalah sebagai berikut :

Harga Pupuk = Harga Beli + Biaya + Margin + PPN (10 %), dengan rincian
sebagai berikut :
1. Harga di Lini-II = Harga Beli + Biaya Distribusi Lini-I s.d. Lini-II + Margin + PPN
(10%).
2. Harga di Lini-III= Harga Beli + Biaya Distribusi Lini-I s.d. Lini-III + Margin + PPN
(10 %).


Perlakuan harga untuk setiap pembeli relatif sama. Secara umum harga yang
ditetapkan tidak melampaui harga pupuk yang ada pada plafond KUT. Untuk penjualan
pupuk dalam volume yang relatif besar dimungkinkan untuk dilakukan negosiasi harga.
Rincian harga beli (penebusan) pada Lini-II/III berdasarkan volume pembelian dapat dilihat
pada Tabel 1 berikut.

Dengan penetapan harga yang demikian, pelaku pasar yang memiliki modal besar
akan mampu membeli dengan harga yang relatif lebih murah. Tidak demikian halnya dengan
KUD, karena pada umumnya KUD memiliki modal yang relatif terbatas. Oleh karena itu
tanpa upaya dan perhatian pemerintah terhadap permasalahan yang dihadapi KUD, maka
KUD akan membeli dan menjual pupuk dengan harga yang relatif lebih mahal dibandingkan
pelaku pasar lain. Akibatnya banyak kios-kios penyalur dan pengecer beralih membeli pupuk
dari KUD ke distributor Non KUD. Bahkan ada kasus petani peserta KUT pola khusus yang
memperoleh kredit dalam bentuk uang tunai membeli pupuk di luar KUD dengan harga yang
relatif lebih murah (Rp 1 003,-/Kg) dari harga KUT (Rp 1 115,-/Kg).
Dengan harga jual yang ditetapkan PT. Pusri dan adanya jalur penjualan melalui Non
Pusri, harga di pasar dapat berubah setiap saat. Perubahan harga tersebut sangat dipengaruhi oleh jumlah barang yang ditawarkan di suatu tempat. Jaringan pemasaran yang luas dan berpengalaman disertai modal usaha yang cukup menyebabkan KUD kalah bersaing dengan distributor Non KUD.
Pada tingkat harga beli KUD dari PT. Pusri Rp 985,- sampai Rp 1 000,- per kilogram
di Lini-III, KUD menjual ke kios dengan harga Rp 1 005,- per kilogram, selanjutnya kios
pengecer menjual ke petani dengan harga Rp 1030,- per kilogram, untuk pupuk Urea.
Sementara itu distributor Non KUD membeli pada PT. Pusri di Lini-II dengan harga Rp 960
per kilogram, dapat menjual dengan harga lebih murah, atau seandainya pun sama, pihak
swasta mampu memberikan kemudahan-kemudahan kepada pelanggannya. Kemudahankemudahan yang diberikan dapat merupakan: cara pembayaran yang dapat diangsur 2–3 kali,sementara KUD harus membayar tunai ke PT. Pusri; pada waktu tertentu memberikanlayanan hiburan atau wisata kepada pelanggan, hal ini belum pernah dilakukan oleh KUD sebelumnya.
Beban yang dihadapi KUD selain dalam hal pembelian adalah dalam penjualan. KUD
harus menanggung beban bunga akibat adanya kios yang membayar ke KUD 2–3 kali dengan
tanpa menanggung beban bunga pinjaman; biaya penyimpanan termasuk bongkar muat akibat pesanan kios yang relatif kecil dengan jenis yang beragam, sehingga pupuk yang dipesan KUD dari PT. Pusri harus disimpan sementara di gudang KUD; biaya distribusi dari KUD ke kios-kios yang terpencar dan dalam jumlah pesanan yang relatif kecil.
Harga jual KUD yang relatif mahal dan tidak adanya fasilitas khusus yang diberikan
KUD kepada pembeli, menyebabkan banyak pengecer membeli pupuk pada distributor Non
KUD. Akibatnya daya serap pupuk KUD pasca kebijakan lebih rendah dibanding
sebelumnya. Pada saat studi ini dilakukan, sebagian besar pupuk yang disalurkan melalui
KUD hanya merupakan pupuk untuk memenuhi kebutuhan paket KUT Pola Umum. Di mana
kebutuhan pupuk masih dipenuhi dalam bentuk natura.




Untuk dapat bersaing dengan pelaku pasar lain dalam sistem pasar bebas, sebagian
KUD melakukan upaya-upaya sebagai berkut:
(a) Memperbesar modal dengan cara mengajukan Surat Perjanjian Jual Beli (SPJB) kepada
PT. Pusri Lini-III sebanyak kebutuhan di wilayah kerjanya.
(b) Berdasarkan SPJB tersebut, KUD mengajukan kredit modal kerja untuk pengadaan pupuk.Setelah kredit cair, KUD hanya menebus 50 persen dari volume SPJB yang merupakan
syarat batas minimal penebusan untuk tetap menjadi KUD Penyalur PT. Pusri.
(c) Sisa dana yang ada diantara beberapa KUD tersebut digabung untuk dapat membeli pupukdalam volume lebih besar. Dengan demikian gabungan KUD ini mampu membeli pupukdengan harga yang lebih murah.
Dari upaya yang dilakukan KUD membuktikan bahwa KUD membutuhkan tambahan
modal kerja untuk dapat bersaing dengan penyalur Non KUD dalam melakukan aktivitas
perdagangan pupuk. Upaya tersebut dapat dilakukan tidak lagi dengan menggunakan
mekanisme penebusan seperti sebelum kebijakan yang hingga kini masih dilaksanakan dalam memperoleh kredit modal kerja KUD. Koordinasi kebutuhan pupuk antar KUD yang mempunyai wilayah kerja yang berdampingan atau penggabungan pesanan kebutuhan pupuk melalui PUSKUD, merupakan langkah untuk meningkatkan volume pembelian. Dengan demikian KUD dapat membeli dengan harga yang lebih murah, sama halnya seperti yang dilakukan penyalur Non KUD pasca kebijakan harga dan tataniaga pupuk.

Dampak terhadap Omset Penjualan Koperasi Unit Desa
Seperti diutarakan sebelumnya, PT. Pusri mengalokasikan penyaluran pupuk untuk
subsektor tanaman pangan melalui KUD sebanyak 80 persen, namun demikian adanya pasar
bebas dengan harga yang bersaing menyebabkan KUD cenderung kalah bersaing dengan
distributor Non KUD. Akibatnya pembelian KUD ke PT. Pusri mengalami penurunan. Tabel
2 menunjukkan kemampuan pembelian KUD dari target yang direncanakan dalam Surat
Perjanjian Jual Beli yang telah disepakati dengan pihak PT. Pusri.
Secara agregat Tabel 2 menunjukkan bahwa, KUD yang ada di kabupaten contoh tidak
mampu mencapai target pembelian sesuai SPJB yang disepakati. Bahkan untuk Kabupaten
Karawang hanya mencapai 46 persen. Untuk Kabupaten Subang mampu mencapai 72 persen, namun menurut informasi dari PT. Pusri KPK Subang, sejak Musim Tanam 1999/2000 (April s.d Juni 1999) semua KUD yang ada di Kabupaten Subang, daya serap pembelian pupuknya kurang dari 50 persen dari SPJB.


Rendahnya realisasi tersebut dapat disebabkan oleh empat faktor.
 Pertama, distributor Non Pusri dan Non KUD telah aktif masuk ke pasar. Gambaran ini dapat dilihat pada Lampiran 1 dan Lampiran 2. Data pada lampiran tersebut menunjukkan adanya peran distributor Non Pusri dan Non KUD menyebabkan tidak semua kebutuhan pupuk dipenuhi oleh PT. Pusri. Untuk Kabupaten Subang, kebutuhan pupuk jenis Urea, SP-36, dan KCl yang dipenuhi PT. Pusri masing-masing hanya 77 persen,43 persen, dan 86 persen. Hanya pupuk ZA yang seluruhnya dipenuhi oleh PT. Pusri. Sementara itu di Kabupaten Karawang, kebutuhan pupuk Urea dapat dipenuhi oleh PT. Pusri, sedangkan untuk jenis SP-36, ZA, dan KCl hanya 46 persen, 92 persen, dan 28 persen yang dipenuhi oleh PT. Pusri. Khusus untuk KUD, jatah yang dialokasikan sebanyak 80 persen, untuk dua lokasi dan untuk semua jenis pupuk, tidak dapat dipenuhi oleh KUD.
Kedua, terbatasnya kemampuan produksi pabrik di dalam negeri dipenuhi oleh
pengadaan pupuk impor, khususnya untuk jenis pupuk TSP dan KCl.
 Ketiga, relatif tingginya harga pupuk menyebabkan petani mengurangi penggunaan pupuk atau mencari pupuk alternatif sebagai pengganti pupuk standar. Faktor ini pada umumnya yang menyebabkan turunnya penggunaan pupuk jenis SP-36 dan KCl oleh petani.
Keempat, faktor musim juga mempengaruhi jumlah penggunaan pupuk, namun pada saat studi tidak merupakan faktor yang mempengaruhi.
Bagi PT. Pusri rendahnya daya serap KUD dari rencana yang dibutuhkan merupakan
hal yang merugikan, karena menurunkan omset penjualannya. Menghadapi masalah ini,
sebagai lembaga bisnis, untuk Musim Tanam 1999/2000 PT. Pusri akan memberikan penalti
untuk mengeluarkan KUD sebagai Penyalur, jika ada KUD yang tidak mampu menyerap
minimal 50 persen dari SPJB yang telah disepakati. Namun untuk tahap pertama, pihak PT.
Pusri baru memberikan surat peringatan. Sejalan dengan itu, untuk menghindari kerugian,
PT. Pusri mengambil kebijakan untuk menyalurkan pupuk melalui penyalur Non KUD.
Dari informasi dan data yang ada menunjukkan bahwa omset penyaluran pupuk KUD
mengalami penurunan. Hal ini berarti merupakan kerugian dan akan menggangu
kelangsungan usaha KUD dalam menyalurkan pupuk. Selain itu, akibat omset yang rendah,
KUD juga harus siap menghadapi tekanan dari PT. Pusri yang tidak ingin menanggung beban
akibat kebijakan pasar bebas yang ditetapkan pemerintah. Oleh karena itu, agar kebijakan
tataniaga pupuk konsisten dengan kebijakan sebelumnya dan tidak merugikan diantara pelaku ekonomi, dalam hal ini produsen, penyalur dan konsumen pupuk, maka diperlukan upayaupaya untuk menanggulangi masalah yang dihadapi KUD paska kebijakan tataniaga pupuk.


KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Kebijakan sistem tataniaga pupuk telah menciptakan iklim yang kondusif untuk
berkembangnya distributor swasta (Non Pusri dan Non KUD) yang bersaing secara positif.
Dampaknya dapat memperpendek dan memperbanyak jalur distribusi pupuk Dengan
demikian pengadaan pupuk oleh petani dapat dilakukan dari berbagai sumber dan relatif
selalu tersedia dengan harga yang cenderung lebih murah. Namun demikian, dalam jangka
panjang untuk menjaga stabilitas ketersediaan dan harga pupuk ditingkat petani, pemerintah perlu mewaspadai kemungkinan terjadinya kartel yang dibentuk oleh penyalur-penyalur swasta yang suatu saat dapat menguasai pasar. Jika ini terjadi akan sulit bagi pemerintah untuk menstabilkannya dalam waktu singkat.

Masuknya swasta bermodal dan berpengalaman dalam kegiatan distribusi pupuk
sebagai pesaing KUD, menyebabkan turunnya omset penjualan pupuk KUD. Karena dengan
sistem penentuan harga pupuk saat ini, swasta mampu membeli dan menjual dengan harga
lebih murah dari KUD. Pengalaman swasta dalam pemasaran, mampu mengisi sebagian
besar lini distribusi pupuk, sehingga menggeser peran yang dilakukan KUD sebelumnya. Jika
tidak ada upaya-upaya tertentu, maka kelangsungan usaha KUD dalam menyalurkan pupuk
akan terganggu.


Saran
Untuk mempertahankan peran KUD sebagai lembaga ekonomi rakyat yang bergerak
dalam usaha distribusi pupuk, pemerintah perlu memberdayakan KUD antara lain dengan cara meningkatkan modal kerja dan menciptakan strategi agar pembelian pupuk KUD dapat
dilakukan secara kolektif untuk meningkatkan volume pembelian. Hal ini dapat dilakukan
melalui koordinasi antara KUD dalam satu wilayah kerja tertentu atau melalui Pusat Koperasi Unit Desa (PUSKUD).


DAFTAR PUSTAKA

·         Anonimous. 1999. Pengadaan dan Distribusi Pupuk Paska Kebijakan Desember 1998.
Laporan Penelitian Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Litbang
Departemen Pertanian. Bogor. (Tidak dipublikasi).
·         _________. 1999. Laporan Penjualan Pupuk MT. 1999 di Kabupaten Karawang. PT. Pusri KPK Karawang. (tidak dipublikasi).
·         _________. 1999. Laporan Penjualan Pupuk MT. 1999 di Kabupaten Subang. PT. Pusri KPK Subang. (tidak dipublikasi).
·         Caves, R. E. and R. W. Jones. 1981. World Trade and Payments : An Introduction, Third Edition. Little, Brown, and Company. Boston – Toronto.
·         Fatich, M. 1997. Liberalisasi Ekonomi, Berkah ataukah Musibah (Mengkaji peran Hukum di Era Perdagangan Bebas). Jurnal Ilmiah Buana, Edisi : XIII, Th. 1997: 3 – 8.
Universitas Islam Malang.
·         Handerson, J. M. and R. E. Quandt. 1980. Microeconomic Theory : A Mathematical
Approach. Third Edition. McGraw-Hill International Book Company. London.
·         Komaruddin. 1993. Pengantar Kebijakan Ekonomi. Bumi Aksara. Jakarta.
·         Tjiptoherijanto, P. 1997. Prospek Perekonomian Indonesia dalam Rangka Globalisasi.
Rineka Cipta. Jakarta.

Sumber : ojs.unud.ac.id/index.php/soca/article/download/3994/2984

Nama                           : Fitri Wijayanti
NMP/Kelas                 : 22211927/2EB09
Tahun                          : 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar